Bersama Al-Qur'an (183)
(إقرأ)
M. Djidin
IAIN Ternate
Membaca ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an.
Ayat kauniyah adalah ayat
atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah SWT. Ayat kauniyah adalah ayat dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan lainnya yang ada di sekitar kita, di alam ini.
Bacaan kita hari ini :
Memburu Ilmu :
Ilmu dalam Perspektif Al-Qur'an
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilmu selain makna yang lain, dapat juga dimaknai dengan pengetahuan tentang sesuatu baik terkait soal dunia maupun soal akhirat, yang lahir dan yang batin. Misalnya ilmu agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama; teologi, ilmu alam adalah pengetahuan tentang keadaan alam, dan lain-lain. Agama Islam sangat menghargai, menjunjung tinggi ilmu, mendorong penganutnya untuk menuntut ilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya. Dalam Al-Qur'an, kata ilmu (العلم) dan derivasinya disebutkan banyak kali bahkan sampai 823 kali. Menurut Raghib al-Ashfahani, selain kata al-'ilm, kata al-ma'rifah juga bermakna pengetahuan. Perbedaannya, kata al-ma'rifah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran dan perenungan yang dalam. Karena itu pengetahuan Allah terhadap hamba-Nya yang tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan digambarkan dengan kata 'alima. Sedangkan pengetahuan manusia tentang Tuhannya menggunakan kata 'arafa karena diperoleh melalui hasil perenungan. Selain itu, beberapa term yang digunakan Al-Qur'an seperti al-'aql, al-fikr, al-nazhr, al-bashar, al-tadabbur, dan al-dzikr oleh para ahli bahasa Arab dinilai terkait dengan makna ilmu.
Apresiasi dan dorongan Al-Qur'an untuk memperoleh ilmu pengetahuan tergambar pada dua unit wahyu awal, lima ayat pada surah al-'Alaq dan awal surah al-Qalam. Melalui kedua unit wahyu tersebut, Al-Qur'an merekomendasikan kepada pengikutnya untuk membaca (iqra') dan menulis (al-qalam). Membaca dan menulis adalah cara yang efektif memperoleh dan menghasilkan ilmu. Pada masa nabi saw, tradisi membaca dan menulis sangat kuat. Awal turunnya Al-Qur'an, nabi diminta oleh malaikat Jibril untuk membaca. Ayat-ayat yang dibaca oleh nabi kemudian dihafal. Setiap turunnya wahyu, nabi memanggil sahabat untuk menuliskannya. Demikian seterusnya sampai wahyu lengkap, sempurna diterima nabi, 30 juz, 114 surah. Seluruh ayat telah tersimpan baik melalui bacaan, hafalan maupun tulisan. Nabi dan para sahabat menghafal seluruh ayat Al-Qur'an. Itulah sebabnya para sahabat kemudian menulis kembali ayat-ayat Al-Qur'an dan mengumpulkannya dalam mushaf masing-masing. Ada mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ibnu Abbas, mushaf Ibnu Mas'ud, mushaf Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain. Selain susunan dan urutan surah-surah dalam mushaf-mushaf tersebut berbeda-beda, juga di antaranya ada pengaruh dialek penyusunnya. Pada masa khalifah Usman bin Affan, dilakukan penyeragaman baik bacaan maupun urutan dan susunan surah sesuai yang diterima dari nabi saw. Maka disepakatilah mushaf Usman sebagai mushaf induk mushaf yang diakui oleh ummat Islam dan dipakai sampai saat ini. Karena tradisi membaca, hafalan, dan tulisan yang mengakar kuat yang ditunjukkan oleh nabi saw dan para sahabat, maka kitab Al-Qur'an yang ada di tangan ummat Islam saat ini persis sama dengan Al-Qur'an pada masa nabi, tidak lebih dan tidak kurang. Perbedaannya, kalau masa nabi Al-Qur'an tidak bertanda baca maka Al-Qur'an yang ada saat ini sudah bertanda baca sejak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada tanda baca atau tidak ada tanda baca tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keotentikan, keaslian Al-Qur'an, karena bacaan Al-Qur'an tersimpan kuat di dada nabi dan para sahabat sejak turunnya Al-Qur'an dan di dada generasi berikutnya, dari generasi ke generasi sampai generasi hari ini ( QS. Al-Hijr : 9).
Melalui membaca dan menulis ilmu berkembang pesat. Perintah iqra' pada surah al-'Alaq mendorong manusia untuk membaca, mengkaji, meneliti baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tidak tertulis (kauniyah). Kajian terhadap Al-Qur'an sebagai ayat-ayat qauliyah yang tertulis melahirkan berbagai macam ilmu dengan semua cabang dan rantingnya. Ilmu-ilmu tersebut dikembangkan melalui tulisan (al-qalam) yang dapat dibaca oleh manusia pada setiap generasi dari masa ke masa sampai saat ini. Kitab-kitab tafsir misalnya, berjilid-jilid bahkan jumlahnya tidak terhitung lagi, karya para ahli Al-Qur'an berisi penjelasan isi kandungan Al-Qur'an dalam berbagai coraknya sesuai kapasitas latar belakang keilmuan mufassirnya. Demikian juga hasil pembacaan, kajian terhadap alam raya sebagai ayat yang tidak tertulis menghasilkan ilmu yang beragam dengan segala cabang dan rantingnya pula. Ada ilmu pengetahuan alam, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.
Ilmu tidak akan pernah berhenti dikejar dan diburu karena melalui ilmu derajat manusia akan terangkat (QS. Al-Mujadalah : 11). Dengan ilmu yang sulit menjadi mudah, yang jauh menjadi dekat. Di era digital saat ini mencari, mendapatkan ilmu, melakukan penelitian dan menulis hasil penelitian dan mempublish melalui karya ilmiah sangat mudah dilakukan termasuk membaca hasil penelitian itu. Dr. Abdul Aziz misalnya, doktor yang hasil penelitiannya menjadi sangat kontroversial. Disertasi Abdul Aziz yang berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur meneliti lima hal pokok yang tergambar dalam rumusan masalah yaitu :
1) Mengapa Muhammad Syahrur menggagas konsep milk al-yamin baru? 2) Bagaimana hermeneutika hukum yang ia gunakan? 3) Bagaimana ekstensitas hubungan seksual non marital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur ? 4) Bagaimana limitasi hubungan seksual nonmarital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur dan 5) Bagaimana implikasi konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur terhadap perbudakan, delik perzinaan, perkawinan poligini, dan hukum keluarga Islam?. Dalam penelitiannya, Abdul Aziz menggunakan pendekatan hermeneutika hukum. Bentuk penelitian ini adalah kepustakaan. Data penelitian dikumpulkan melalui kajian teks kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif-hermeneutik. Langkah- langkahnya, pertama, data yang telah terkumpul diklasifiksi berdasarkan masalah yang dikaji. Kedua, data dikaji secara kualitatif dengan menggunakan metode hermeneutik. Ketiga, berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, penulis mengambil kesimpulan yang dilengkapi dengan saran- saran.
Penelitian ini menemukan: 1) munculnya gagasan milk al-yamin Muhammad Syahrur dilatarbelakangi pemahaman bahwa milk al-yamin adalah budak wanita (ar-riq) oleh kalangan tradisionalis. Sementara, realitasnya sistem perbudakan telah terhapus oleh sejarah; 2) Muhammad Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi (fiqh al-lughah) dengan prinsip anti sinonimitas istilah ketika melakukan interpretasi konsep milk al-yamīn dalam Al-Quran, hasilnya milk al-yamin tidak lagi berarti budak melainkan partner hubungan seksual nonmarital 3) Ekstensitas keabsahan hubungan seksual nonmarital dalam konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur meliputi: nikah al-
mut‘ah, nikah al-muhalil, nikah al-urfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, al-musakanah (samen leven) dan atau akad ihsan 4) Limitasi hubungan seksual non marital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur adalah: nikah al-maharim, nikah al-mutazawwijah, az-zina as-sifah, al-akhdan, dan nikah maa nakaha al-abaa' 5) Implikasi konsep milk al-yamin Muhmmad Syahrur terhadap hukum Islam adalah meniscayakan adanya delegalisasi perbudakan, dekriminalisasi delik perzinaan, depresiasi perkawinan poligini, dan dekonstruksi hukum keluarga Islam.
Meskipun Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama pejabat lainnya telah melakukan konferensi pers bahwa hasil penelitian Dr. Abdul Aziz sulit atau tidak akan diterima oleh masyarakat muslim Indonesia, namun, kontroversi itu dipicu oleh pers dan menjadi viral sampai saat ini.
Dalam perspektif Al-Qur'an semua yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang sia-sia. Kasus disertasi Abdul Aziz paling tidak mendorong lahirnya pengetahuan dan ilmu baru. Sarjana muslim dan masyarakat muslim pada umumnya yang sedang tidur terbangun. Mereka angkat bicara dari yang lunak sampai yang keras, dari emak-emak sampai guru besar. Artinya, dari satu sisi, kasus ini membuktikan bahwa ilmu sangat penting sebagaimana informasi Al-Qur'an. Sebagai muslim yang baik kita berusaha mengambil hikmah dari hasil penelitian Abdul Aziz yang meraih gelar doktor dengan hasil sangat memuaskan. Dan yang terpenting, kita tidak boleh berhenti memburu ilmu, ilmu yang Qur'ani yang bermanfaat untuk kemaslahatan.
آمين يارب العٰلمين
والله اعلم بالصواب
Ternate, Kamis, 5 September 2019
(إقرأ)
M. Djidin
IAIN Ternate
Membaca ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an.
Ayat kauniyah adalah ayat
atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah SWT. Ayat kauniyah adalah ayat dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan lainnya yang ada di sekitar kita, di alam ini.
Bacaan kita hari ini :
Memburu Ilmu :
Ilmu dalam Perspektif Al-Qur'an
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilmu selain makna yang lain, dapat juga dimaknai dengan pengetahuan tentang sesuatu baik terkait soal dunia maupun soal akhirat, yang lahir dan yang batin. Misalnya ilmu agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama; teologi, ilmu alam adalah pengetahuan tentang keadaan alam, dan lain-lain. Agama Islam sangat menghargai, menjunjung tinggi ilmu, mendorong penganutnya untuk menuntut ilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya. Dalam Al-Qur'an, kata ilmu (العلم) dan derivasinya disebutkan banyak kali bahkan sampai 823 kali. Menurut Raghib al-Ashfahani, selain kata al-'ilm, kata al-ma'rifah juga bermakna pengetahuan. Perbedaannya, kata al-ma'rifah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran dan perenungan yang dalam. Karena itu pengetahuan Allah terhadap hamba-Nya yang tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan digambarkan dengan kata 'alima. Sedangkan pengetahuan manusia tentang Tuhannya menggunakan kata 'arafa karena diperoleh melalui hasil perenungan. Selain itu, beberapa term yang digunakan Al-Qur'an seperti al-'aql, al-fikr, al-nazhr, al-bashar, al-tadabbur, dan al-dzikr oleh para ahli bahasa Arab dinilai terkait dengan makna ilmu.
Apresiasi dan dorongan Al-Qur'an untuk memperoleh ilmu pengetahuan tergambar pada dua unit wahyu awal, lima ayat pada surah al-'Alaq dan awal surah al-Qalam. Melalui kedua unit wahyu tersebut, Al-Qur'an merekomendasikan kepada pengikutnya untuk membaca (iqra') dan menulis (al-qalam). Membaca dan menulis adalah cara yang efektif memperoleh dan menghasilkan ilmu. Pada masa nabi saw, tradisi membaca dan menulis sangat kuat. Awal turunnya Al-Qur'an, nabi diminta oleh malaikat Jibril untuk membaca. Ayat-ayat yang dibaca oleh nabi kemudian dihafal. Setiap turunnya wahyu, nabi memanggil sahabat untuk menuliskannya. Demikian seterusnya sampai wahyu lengkap, sempurna diterima nabi, 30 juz, 114 surah. Seluruh ayat telah tersimpan baik melalui bacaan, hafalan maupun tulisan. Nabi dan para sahabat menghafal seluruh ayat Al-Qur'an. Itulah sebabnya para sahabat kemudian menulis kembali ayat-ayat Al-Qur'an dan mengumpulkannya dalam mushaf masing-masing. Ada mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ibnu Abbas, mushaf Ibnu Mas'ud, mushaf Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain. Selain susunan dan urutan surah-surah dalam mushaf-mushaf tersebut berbeda-beda, juga di antaranya ada pengaruh dialek penyusunnya. Pada masa khalifah Usman bin Affan, dilakukan penyeragaman baik bacaan maupun urutan dan susunan surah sesuai yang diterima dari nabi saw. Maka disepakatilah mushaf Usman sebagai mushaf induk mushaf yang diakui oleh ummat Islam dan dipakai sampai saat ini. Karena tradisi membaca, hafalan, dan tulisan yang mengakar kuat yang ditunjukkan oleh nabi saw dan para sahabat, maka kitab Al-Qur'an yang ada di tangan ummat Islam saat ini persis sama dengan Al-Qur'an pada masa nabi, tidak lebih dan tidak kurang. Perbedaannya, kalau masa nabi Al-Qur'an tidak bertanda baca maka Al-Qur'an yang ada saat ini sudah bertanda baca sejak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada tanda baca atau tidak ada tanda baca tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keotentikan, keaslian Al-Qur'an, karena bacaan Al-Qur'an tersimpan kuat di dada nabi dan para sahabat sejak turunnya Al-Qur'an dan di dada generasi berikutnya, dari generasi ke generasi sampai generasi hari ini ( QS. Al-Hijr : 9).
Melalui membaca dan menulis ilmu berkembang pesat. Perintah iqra' pada surah al-'Alaq mendorong manusia untuk membaca, mengkaji, meneliti baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tidak tertulis (kauniyah). Kajian terhadap Al-Qur'an sebagai ayat-ayat qauliyah yang tertulis melahirkan berbagai macam ilmu dengan semua cabang dan rantingnya. Ilmu-ilmu tersebut dikembangkan melalui tulisan (al-qalam) yang dapat dibaca oleh manusia pada setiap generasi dari masa ke masa sampai saat ini. Kitab-kitab tafsir misalnya, berjilid-jilid bahkan jumlahnya tidak terhitung lagi, karya para ahli Al-Qur'an berisi penjelasan isi kandungan Al-Qur'an dalam berbagai coraknya sesuai kapasitas latar belakang keilmuan mufassirnya. Demikian juga hasil pembacaan, kajian terhadap alam raya sebagai ayat yang tidak tertulis menghasilkan ilmu yang beragam dengan segala cabang dan rantingnya pula. Ada ilmu pengetahuan alam, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.
Ilmu tidak akan pernah berhenti dikejar dan diburu karena melalui ilmu derajat manusia akan terangkat (QS. Al-Mujadalah : 11). Dengan ilmu yang sulit menjadi mudah, yang jauh menjadi dekat. Di era digital saat ini mencari, mendapatkan ilmu, melakukan penelitian dan menulis hasil penelitian dan mempublish melalui karya ilmiah sangat mudah dilakukan termasuk membaca hasil penelitian itu. Dr. Abdul Aziz misalnya, doktor yang hasil penelitiannya menjadi sangat kontroversial. Disertasi Abdul Aziz yang berjudul Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur meneliti lima hal pokok yang tergambar dalam rumusan masalah yaitu :
1) Mengapa Muhammad Syahrur menggagas konsep milk al-yamin baru? 2) Bagaimana hermeneutika hukum yang ia gunakan? 3) Bagaimana ekstensitas hubungan seksual non marital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur ? 4) Bagaimana limitasi hubungan seksual nonmarital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur dan 5) Bagaimana implikasi konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur terhadap perbudakan, delik perzinaan, perkawinan poligini, dan hukum keluarga Islam?. Dalam penelitiannya, Abdul Aziz menggunakan pendekatan hermeneutika hukum. Bentuk penelitian ini adalah kepustakaan. Data penelitian dikumpulkan melalui kajian teks kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif-hermeneutik. Langkah- langkahnya, pertama, data yang telah terkumpul diklasifiksi berdasarkan masalah yang dikaji. Kedua, data dikaji secara kualitatif dengan menggunakan metode hermeneutik. Ketiga, berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, penulis mengambil kesimpulan yang dilengkapi dengan saran- saran.
Penelitian ini menemukan: 1) munculnya gagasan milk al-yamin Muhammad Syahrur dilatarbelakangi pemahaman bahwa milk al-yamin adalah budak wanita (ar-riq) oleh kalangan tradisionalis. Sementara, realitasnya sistem perbudakan telah terhapus oleh sejarah; 2) Muhammad Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi (fiqh al-lughah) dengan prinsip anti sinonimitas istilah ketika melakukan interpretasi konsep milk al-yamīn dalam Al-Quran, hasilnya milk al-yamin tidak lagi berarti budak melainkan partner hubungan seksual nonmarital 3) Ekstensitas keabsahan hubungan seksual nonmarital dalam konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur meliputi: nikah al-
mut‘ah, nikah al-muhalil, nikah al-urfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, al-musakanah (samen leven) dan atau akad ihsan 4) Limitasi hubungan seksual non marital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur adalah: nikah al-maharim, nikah al-mutazawwijah, az-zina as-sifah, al-akhdan, dan nikah maa nakaha al-abaa' 5) Implikasi konsep milk al-yamin Muhmmad Syahrur terhadap hukum Islam adalah meniscayakan adanya delegalisasi perbudakan, dekriminalisasi delik perzinaan, depresiasi perkawinan poligini, dan dekonstruksi hukum keluarga Islam.
Meskipun Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama pejabat lainnya telah melakukan konferensi pers bahwa hasil penelitian Dr. Abdul Aziz sulit atau tidak akan diterima oleh masyarakat muslim Indonesia, namun, kontroversi itu dipicu oleh pers dan menjadi viral sampai saat ini.
Dalam perspektif Al-Qur'an semua yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang sia-sia. Kasus disertasi Abdul Aziz paling tidak mendorong lahirnya pengetahuan dan ilmu baru. Sarjana muslim dan masyarakat muslim pada umumnya yang sedang tidur terbangun. Mereka angkat bicara dari yang lunak sampai yang keras, dari emak-emak sampai guru besar. Artinya, dari satu sisi, kasus ini membuktikan bahwa ilmu sangat penting sebagaimana informasi Al-Qur'an. Sebagai muslim yang baik kita berusaha mengambil hikmah dari hasil penelitian Abdul Aziz yang meraih gelar doktor dengan hasil sangat memuaskan. Dan yang terpenting, kita tidak boleh berhenti memburu ilmu, ilmu yang Qur'ani yang bermanfaat untuk kemaslahatan.
آمين يارب العٰلمين
والله اعلم بالصواب
Ternate, Kamis, 5 September 2019
Comments
Post a Comment